Setelah istriku berangkat, tidak lama kemudian Pak Har dan istrinya muncul di kamarku serta menanyakan kondisiku.
“Paak…, kata ibu lagi sakit perut yaa…, ma’af…, mungkin ada makanan yang tidak cocok dengan perut bapak.., yaa”, kata Pak Har dengan penuh rasa khawatir sedang istrinya hanya diam saja di sampingnya.
“ooh…, bukan sakit peruut…, kok…, paak”, sahutku sambil kutinggikan bantalku sehingga posisi tidurku setengah duduk, “cuma…, masuk angin sedikit.., kayaknya.., sebentar lagi juga sembuh”, sahutku seraya kupandangi keduanya bergantian.
“Apa bapak biasa minum obat tolak angin…, biar saya ambilkan.. yaa”, kata Bu Har.
“aahh…, nggak usah lah buu…, tadi sudah dipijitin sedikit oleh istri saya…, biasanya sih dikerokin…, tetapi karena takut ke Mlg-nya kesiangan…, jadi kerokannya nggak jadi”, sahutku.
“Lho…, Paak.., kalau biasa kerokan…, biar istri saya saja yang ngerokin…, dia itu ahlinya…, saya kalau masuk angin paling cepat dikerokin lalu dipijitnya, langsung sembuh”, sahut Pak Har.
“Iyaa…, Buu.., tolong dikerokin saja dan setelah itu baru minum obat tolak angin.., soalnya kalau dibiarkan bisa kasep nanti, apalagi besok adalah acara resmi perkawinannya…, ayoo.. sana buu.., ambil alat kerokannya”, tambah Pak Har dan segera saja Bu Har pergi meninggalkan kamarku.
Tidak lama kemudian Bu Har mencul kembali dan dikedua tangannya telah membawa alat kerokan dan segelas air minum serta obat tolak angin dan sambil meletakkan barang bawaannya di meja, Bu Har mengatakan.
“Paakk…, lebih baik kaosnya dibuka saja”, katanya dan pak Har yang masih menemaniku di kamar terus menimpalinya.
“Betuul…, Paak…, ooh…, iyaa… buu”, kata Pak Har pada istrinya, “Saya tinggal dulu ya sebentar ke kantor KUA untuk menyelesaikan administrasinya buat besok dan mungkin ke beberapa teman yang undangannya belum kita berikan”.
“Jangan…, lama-lama lho.., paak.., masih banyak yang belum beres.., lhoo..”, sahut Bu Har sambil keluar pintu kamarku menghantar suaminya pergi.