Gairah Bu RT [02]

Dan seperti yang dipesankannya, aku berusaha mencoba bersikap sewajar mungkin saat berada diantara orang-orang. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa diantara kami. Kendati aku sering harus menekan keinginan yang menggelegak akibat darah mudaku yang gampang panas saat berdekatan dengannya. Dan sejak itu lokasi teras di belakang kamar mayat menjadi saksi sekitar tiga kali hubungan sumbang kami. Hubungan sumbang yang terpaksa kuhentikan seiring kedatangan Bu Hartini, adik Pak Harjono yang bermaksud menengok kondisi sakit kakaknya. Hanya terus terang, sejak kehadirannya ada perasaan kurang senang pada diriku. Sebab sejak Ia ada yang menemani merawat suaminya di rumah sakit, kendati aku tetap diminta untuk membantu mereka dan selalu berada di rumah sakit, aku tidak lagi dapat menyalurkan hasrar seksualku. Hanyasesekali kami pernah nekad menyalurkannya di kamar mandi ketika hasrat yang ada tak dapat ditahan. Itu pun secara kucing-kucingan dengan Bu Tini dan segalanya dilaksanakan secara tergesa-gesa hingga tetap tidak memuaskan kami berdua.

Sampai suatu ketika, saat Pak Har telah siuman dan perawatannya telah dialihkan ke bangsal perawatan yang terpisah, Bu Tini menyarankan kepada Ia untuk tidur di rumah.
“Kamu sudah beberapa hari kurang tidur Mbak, kelihatannya sangat kelelahan. Coba kamu kalau malam tidur barang satu dua hari di rumah hingga istirahat yang cukup dan tidak jatuh sakit. Nanti kalau kedua-duanya sakit malah merepotkan. Biar yang nunggu Mas Har kalau malam aku saja diteman Dik Rido kalau mau” ujarnya.
Ia setuju dengan saran adik iparnya. Ia memutuskan untuk tidur di rumah malam itu. Maka hatiku bersorak karena terbuka peluang untuk menyetubuhinya di rumah. Tetapi bagaimana caranya pamit pada Bu Tini? Kalau aku ikut-ikutan pulang untuk tidur di rumah apa tidak mengundang kecurigaan? Aku jadi berpikir keras untuk menemukan jalan keluar. Dan baru merasa plong setelah muncul selintas gagasan di benakku.

Sekitar pukul 22.00 malam, lewat telepon umum kutelepon rumahnya. Wanita itu masih terjaga dan menurut pengakuannya tengah menonton televisi. Maka nekad saja kusampaikan niatku kepadanya. Dan ternyata ia memberi sambutan cukup baik.
“Kamu nanti memberi tanda kalau sudah ada di dekat kamar ibu ya. Nanti pintu belakang ibu bukakan. Dan sepeda motornya di tinggal saja di rumah sakit biar tidak kedengaran tetangga. Kamu bisa naik becak untuk pulang,” katanya berpesan lewat telepon.
Untuk tidak mengundang kecurigaan, sekitar pukul 23.00 aku masuk ke bangsal tempat Pak Har dirawat menemani Bu Tini. Namun setengah jam sesudahnya, aku pamit keluar untuk nongkrong bersama para Satpam rumah sakit seperti yangbiasa kulakukan setelah kedatangan Bu Tini. Di depan rumah sakit aku langsung meminta seorang abang becak mengantarku ke kampungku yang berjarak tak lebih dari satu kilometer. Segalanya berjalan sesuai rencana. Setelah kuketuk tiga kali pintu kamarnya, kudengar suara Ia berdehem. Dan dari pintu belakang rumah yang dibukakannya secara pelan-pelan aku langsung menyelinap masuk menuju ruang tengah rumah tersebut.

Read More »

Gairah Bu RT [01]

Usia Bu Harjono sebenarnya tidak muda lagi. Mungkin menjelang 50 tahun. Sebab suaminya, Pak Harjono yang menjabat Ketua RT di kampungku, sebentar lagi memasuki masa pensiun. Aku mengetahui itu karena hubunganku dengan keluarga Pak Harjono cukup dekat. Maklum sebagai tenaga muda aku sering diminta Pak Harjono untuk membantu berbagai urusan yang berkaitan dengan kegiatan RT.

Namun berbeda dengan suaminya yang sering sakit-sakitan, sosok istrinya wanita beranak yang kini menetap di luar Jawa mengikuti tugas sang suami itu, jauh berkebalikan. Kendati usianya hampir memasuki kepala lima, Bu Har (begitu biasanya aku dan warga lain memanggil) sebagai wanita belum kehilangan daya tariknya. Memang beberapa kerutan mulai nampak di wajahnya. Tetapi buah dadanya, pinggul dan pantatnya, sungguh masih mengundang pesona. Aku dapat mengatakan ini karena belakangan terlibat perselingkuhan panjang dengan wanita berpostur tinggi besar tersebut.

Read More »